Google
 

Tuesday, October 2, 2007

UJIAN NASIONAL : UPAYA PERBAIKAN KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA?

Pendahuluan
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya, sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah (tahun 2008 nanti, pada jenjang Sekolah Dasar juga akan diselenggarakan Ujian Nasional).
Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Alasan Pelaksanaan Ujian Nasional
Alasan pemerintah menyelenggarakan UN, pertama, mengukur dan menilai kompetensi peserta didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian ini juga akan dipergunakan untuk ukuran tingkat pencapaian pendidikan nasional.
Kedua, hasil ujian dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi peserta didik. Dalam konteks yang sama, hasil ujian ini dipergunakan sebagai alat untuk memetakan mutu sekolah dan mutu pendidikan secara nasional serta bahan pertimbangan akreditasi bagi sekolah.
Jika merujuk UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional kewenangan menyelenggarakan evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan sekolah. Dengan kata lain, menyelenggarakan UN berarti keinginan memperbarui kondisi pendidikan nasional semakin menjauh dari harapan. Ditinjau dari sudut undang-undang, pertimbangan pedagogis, dan alasan efektivitas dan efisiensi UN tidak banyak bermanfaat. Dicemaskan, UN hanya menyerap energi yang tidak kecil dari kalangan pendidik. Bahkan besar kemungkinan menjadi ajang proyek hanya menguntungkan segelintir orang. Yang menjadi persoalan kini ialah, belum tersedianya standardisasi pendidikan nasional. Selama belum dibentuk Badan Independen yang bertugas memetakan kualitas pendidikan nasional, penyelenggaraan UN tidak maksimal karena peta pendidikan di Tanah Air masih bias dan samar-samar.
Pada saat ini, banyak sekolah belum memenuhi standar minimal sekalipun, sehingga tidak menutup kemungkinan, jika dipaksakan UN dan kemudian hasilnya diketahui buruk, kebijakan konversi diterapkan kembali. Jika UN hendak dipakai sebagai standar pendidikan, harus dilakukan dengan kepenuhan standar pelayanan minimal seperti kecukupan tenaga pendidik, sarana prasarana maupun penunjang lain.
Hingga kini sebagian besar SD, SMP dan SLTA menunjukkan kurangnya tenaga pendidik baik dari segi kualitas dan kuantitas, buku dan alat laboratorium. Pada saat sekolah tidak dalam keadaan standar yang sama kemudian diukur dengan tolok ukur yang sama justru tidak adil dan tidak fair.
Keragaman soal yang disesuaikan dengan mutu pendidikan, justru berpotensi memicu kesenjangan dan keresahan sosial di kalangan pendidik dan peserta didik. Dengan cara itu akan ada sekolah bermutu, kurang bermutu, sekaligus sekolah gombal, supergombal yang jelas-jelas merendahkan martabat peserta didik, sekolah, pendidik dan orang tua. Bagaimanapun, jika sebuah sekolah memperoleh soal ujian spektrum dua dan tiga akan menjadi promosi yang buruk bagi calon peserta didik. Bahkan sangat mungkin pada tahun ajaran berikutnya, sekolah yang dikategorikan dengan spektrum 2 dan 3 tidak mendapat murid baru.

Alat Ukur Sama

Sebagai alat pengukur mutu pendidikan nasional, jangan alat ukurnya yang dibeda-bedakan. Sebagai pengukur, soal-soal UN mestinya sama untuk semua jenis sekolah baik bermutu dan tidak bermutu. Yang menjadi masalah pada masa kini ialah, tidak semua sekolah mendapat kesempatan meningkatkan mutu pendidikan dengan guru yang memadai sekaligus berkualitas, sarana yang lengkap berikut buku-bukunya. Tidak meratanya distribusi penunjang pendidikan inilah yang menjadi sebab mengapa alat ukur yang bersifat nasional tidak pernah memuaskan semua pihak. Idealnya, benahi dulu infrastruktur pendidikan seperti gedung, guru, buku, laboratorium baru diadakan pengukuran kualitas pendidikan nasional. Lagi pula, pada era otonomi daerah dimana upaya pemberdayaan daerah tengah digalakkan, penyelenggaraan ujian berskala nasional dan sentralistis mestinya dihapuskan.
Karakter masing-masing daerah mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Lagipula, yang disebut dengan pendidikan adalah proses dan bukan hasil semata. Penyelenggaraan UN hanyalah salah satu alat ukur saja dari segi hasil, sementara proses tidak pernah terukur dengan mekanisme ujian yang selama ini sudah berjalan. Lain halnya, jika evaluasi pendidikan diserahkan kepada guru di masing-masing sekolah proses belajar anak didik akan diketahui.
UN pada saat yang sama justru menjadi ajang pemborosan anggaran. Untuk jenjang SLTA, nilai-nilai UN tidak banyak bermanfaat bahkan boleh dikatakan mubazir. Selama ini, hampir semua perguruan tinggi menyelenggarakan sendiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan tidak mempergunakan nilai murni UN. Bahkan beberapa SLTA juga menyelenggarakan sendiri tes penerimaan siswa baru dan nilai murni ujian hanya dipakai sebagai pertimbangan saja.
Kalau demikian halnya, UN hanya akan menjadi beban orang tua yang harus menambah biaya pendidikan bagi anaknya, sekolah dan guru yang harus ngedril latihan-latihan soal untuk menghadapi ujian. Bahkan sering terjadi, materi yang mestinya diberikan sampai selesai justru tidak diberikan karena pertimbangan mempersiapkan anak-anak menghadapi ujian.

Cermin Kualitas
Strategi ngedril untuk mempersiapkan ujian sesungguhnya tidak menyebabkan para siswa kian memahami substansi pelajaran secara keseluruhan. Yang terjadi hanyalah melatih para siswa menyiasati soal-soal ujian. Hal ini terpaksa ditempuh untuk menyiasati ambang batas kelulusan. Dengan lain kata, jika penyelenggaraan UN dihadapi dengan cara demikian sesungguhnya tidak mencerminkan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sebelum ada pemetaan pendidikan yang dilakukan oleh badan independen, kiranya pemaksaan penyelenggaraan UN hanya akan memicu polemik dan kontroversi berkepanjangan di kalangan masyarakat. Jika kebijakan ini menjadi polemik, yang menjadi korban adalah pendidik, anak didik dan orang tua karena menghadapi ketidakpastian dalam pendidikan. Pemerintah tidak perlu memaksakan diri mengadakan UN. Pemerintah, pada era otonomi ini cukup memberikan rambu-rambunya atau kisi-kisi saja sementara pembuatan soal sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Evaluasi pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada guru sesuai dengan undang-undang.
Di tengah beragam wacana perlu tidaknya diadakan UN dan relevansinya bagi anak didik, mestinya pemerintah menempatkan kebijakan otonomi pendidikan sebagai pertimbangan utama. Bukankah dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang digulirkan pemerintah setahun silam, sekolah diberi keleluasaan penuh mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal ujian.
Kiranya, pada saat ini tepat menghapuskan hegemoni negara dalam penyelenggaraan ujian berskala nasional. Selama ini, alat itu terbukti tidak menjamin kualitas pendidikan kian menjadi baik.
Pemerintah hendaknya meninjau kembali kebijakan dan praktik pendidikan dengan menjadikan ujian nasional sebagai penentu tunggal kesuksesan siswa. Ada dua pertimbangan utama yang mesti diperhatikan. Pertama, menyangkut kaitan antara pengujian kompetensi siswa dan bangunan kurikulum yang diterapkan pada pendidikan nasional. Kedua, terkait dengan pelaksanaan dari amanah konstitusi tentang kompetensi kelulusan yang diberlakukan secara nasional.

Bangunan Kurikulum
Saya sependapat dengan prinsip pentingnya penguatan mekanisme pengujian kecakapan siswa melalui ujian nasional. Namun, bagi saya, persoalannya bukan di situ. Ada masalah mendasar yang menyelimuti mekanisme pengujian itu, yakni terkait dengan pemberlakuan kurikulum di pendidikan nasional kita. Kita perlu meletakkan persoalan ujian nasional pada sistem pengenaan kurikulum yang dikembangkan di pendidikan tanah air. Pendidikan Indonesia dikembangkan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang kini lebih disempurnakan melalui desain dan bangunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Inti dari desain dan bangunan kurikulum seperti ini adalah upaya untuk mengapresiasi kompetensi masing-masing siswa sesuai dengan keragaman individual (individual differences) yang dimiliki oleh siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menjunjung tinggi prinsip kompetensi ini, bangunan dasar kebijakan ujian nasional sungguh menyisakan persoalan. Muatan kompetensi yang dikembangkan oleh kurikulum telah direduksi sedemikian rupa melalui mekanisme pengujian tiga mata pelajaran dalam ujian nasional, yakni matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Seorang siswa yang prestasi akademiknya secara umum sangat bagus bisa saja akhirnya dinyatakan tidak lulus karena nilai yang diperolehnya untuk salah satu bidang studi yang di-UN-kan lebih rendah daripada standar minimal yang diberlakukan secara nasional.
Kebijakan tidak meluluskan siswa karena nilai satu di antara tiga mata pelajaran yang di-UN-kan di bawah standar yang diterapkan sama saja artinya dengan membunuh kompetensi siswa yang bersangkutan. Ini sungguh ironis dan bertentangan sama sekali dengan prinsip kurikulum (apapun nama kemasan kurikulum itu) yang sangat menghargai kompetensi dan perbedaan potensi individual siswa.
Bahasa Indonesia, Inggris dan matematika memang mencerminkan kompetensi dasar manusia, yakni bahasa dan logika. Namun, bukan berarti kegagalan pada salah satu bisa memberangus kompetensi atau potensi yang lain. Oleh karena itu, kalau standar pengukuran kelulusan siswa harus ditentukan pada kelulusan ketiga mata pelajaran di atas, maka kurikulum nasional pendidikan harus diubah dulu. Ibarat sebuah produksi, kurikulum merupakan mesin dan sekaligus bahan produksi. Maka, proses quality control-nya harus mempertimbangkan bahan dan mesin itu secara keseluruhan.
Kalau standar kelulusan tetap pada kelulusan tiga mata pelajaran di atas, sementara kurikulumnya tetap mengapresisasi pola kompetensi dan potensi individual anak, maka ibaratnya kita sedang menegakkan prinsip ”nila setitik rusak susu sebelanga”. Kegagalan satu mata pelajaran bisa menghanguskan semua mata pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, kelulusan siswa tidak bisa hanya sekadar dilihat dari prinsip ”kompetisi dengan konsekuensi degradasi”, sebagaimana dalam kompetisi liga sepak bola, melalui mekanisme UN tanpa melihat sistem pembelajaran yang lebih luas.
Amanah Konstitusi
Pasal 35 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan adanya ’kompetensi kelulusan’ yang ditetapkan secara nasional mestinya tidak dimaknai dalam bentuk menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya faktor kelulusan. Ini menjadi masalah mendasar kedua di balik kebijakan ujian nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan.
Seharusnya ada mekanisme yang menyertakan peran sekolah dan guru dalam menentukan kelulusan siswa didik. Kalau tidak, pemerintah sama artinya dengan ikut memperpuruk kondisi sosial pendidikan nasional. Bentuknya adalah menjadikan kemampuan kognitif melalui kecakapan pada tiga mata pelajaran sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa adanya pertimbangan dan penilaian yang sama terhadap aspek afektif dan psikomotorik, yang catatan persisnya hanya diketahui oleh pihak sekolah dan guru.
Padahal, dua aspek yang disebut terakhir memiliki peran yang sama dengan aspek kognitif dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Tingginya perilaku culas dan semakin tenggelamnya prinsip kejujuran dalam praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini, bahkan, sangat kerap diawali oleh lemahnya penguatan domain afektif dan psikomorotik dalam proses pendidikan nasional. Dan, sekolah menjadi media pelestarian kecenderungan praktik semacam ini.
Kalau kebijakan penyamaan kecakapan siswa dengan kelulusan tiga mata pelajaran yang di-UN-kan terus diterapkan tanpa menyertakan pihak sekolah dan atau guru, konsekuensinya akan panjang. Sebab, hal ini akan mendorong siswa, dan termasuk guru serta institusi pengelola pendidikan, untuk semata-mata menumpahkan perhatian pada tiga mata pelajaran yang di-UN-kan tersebut, sementara melupakan esensi pendidikan yang lebih besar. Termasuk menyangkut proses pembentukan karakter dan penanaman nilai dan budaya bangsa.
Kalau hal ini terjadi, maka benar pula peringatan soerang filosof dan pendidikan Amerika, John Caldwell Holt (lihat How Children Fail, 1964), yang menjadi embrio bagi merebaknya konsep dan praktik sekolah rumah (homeshooling): ”The academic failure of schoolchildren was not in spite of the efforst of the schools, but actually because of the schools.” Pengertiannya, ”kegagalan akademik anak sekolah bukanlah karena buruknya upaya pihak sekolah, tetapi memang karena sistem persekolahan itu sendiri yang menjadi penyebabnya.”

Daftar Pustaka

Haryanti, Mien dan Paulus Mujiran. Kontroversi Ujian Nasional. Suara Merdeka : 15 Februari 2005.
Irawan, Ade. Kontroversi Ujian Nasional. Koran Tempo : 4 Februari 2005.
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern. Yogyakarta : IRCiSoD.
Muzakki, Akhmad. Menakar Unas, Memperbaiki Persekolahan. Duta Masyarakat : 5 Juli 2007.
Ratnawati, Sinta (ed). 2002. Sekolah Alternatif untuk Anak. Jakarta : Kompas.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Pengembangan Kurikulum, teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Susilo, Joko. 2007. Kurikuum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Susilo, Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta : Pinus book Publisher.