Google
 

Wednesday, December 19, 2007

Latihan 15 (Teori Pembelajaran).

Ujian Nasional (UN) selama ini masih menjadi kontroversi oleh berbagai pihak. tetapi justru mulai tahun ajaran 2007/2008 ini, Ujian Nasional juga akan diberlakukan untuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Bagaimana menurut saudara?

Latihan 14 (Teori Pembelajaran).

Dalam pembahasan konsepsi pembelajaran, kita mengenal ada 4 aliran/paham yang memandang pembelajaran. Menurut Saudara, mana yang paling baik (paling saudara sukai), mengapa?

Latihan 13 (Teori Pembelajaran).

Jelaskan bagaimana cara menyusun item-item tes hasil belajar yang valid dan reliabel !

Latihan 12 (Teori Pembelajaran).

Jelaskan hubungan teori belajar dan pembelajaran!

Latihan 11 (Teori Pembelajaran).

Jelaskan perbedaan Teori belajar dan teori pembelajaran!

Latihan 10 (Teori Pembelajaran).

Untuk mencapai tujuan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan dilakukan melalui proses pembelajaran. Jelaskan bahwa pembelajaran juga merupakan suatu sistem!

Friday, December 14, 2007

Thursday, December 13, 2007

Latihan 9 (Teori Pembelajaran).

Homeschool merupakan bentuk pendidikan alternatif yang saat ini kembali marak di Indonesia. Jika ditinjau dari sudut pandang teori pembelajaran, homeschool termasuk aliran pembelajaran yang mana? Mengapa?

Latihan 8 (Teori Pembelajaran).

Apa perbedaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP)? Jelaskan!

Latihan 7 (Teori Pembelajaran).

Ada beberapa pendekatan pembelajaran yang telah kita pelajari. Mana yang menurut saudara paling baik, mengapa? (Yusuf Abdillah/3101404054)

Latihan 6 (Teori Pembelajaran).

Dalam pembelajaran partisipatorik siswa dituntut untuk ikut aktif dalam kegiatan pembelajaran. Tetapi ada kalanya siswa merasa malu atau tidak percaya diri untuk ikut ambil bagian. Bagaimana cara mengatasinya ? (Tri Anjani/2102407052)

Latihan 5 (Teori Pembelajaran).

Pada ciri-ciri belajar tuntas, salah satunya disebutkan bahwa memperhatikan perbedaan individu, terutama dalam hal kemampuan dan kecepatan belajarnya. Bagaimana seharusnya guru mensikapi kondisi tersebut? (Emy Dyah Nur F/4401407055)

Tuesday, December 11, 2007

Latihan 4 (Teori Pembelajaran).

Untuk mencapai tujuan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan dilakukan melalui proses pembelajaran. Mengapa pembelajaran juga merupakan suatu sistem ?
(Dedi Dwi W/2102407095)

Latihan 3 (Teori Pembelajaran).

Menurut Ralph Tyler ada 4 faktor sebagai landasan pengembangan kurikulum. salah satu diantaranya adalah asas sosiologis yang mencakup kebutuhan, perkembangan, harapan, dll. padahal kita tahu bahwa faktor-faktor sosial antara masyarakat di daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda. bagaimana kita menyikapi hal tersebut?
(Neni Nurkhamidah/2201407188)

Latihan 2 (Teori Pembelajaran).

Bagaimana strategi belajar yang baik?
Model mengajar yang mana yang cocok/paling baik untuk diterapkan di sistem pendidikan kita?
(Indah Puspitasari/44001407061)

Latihan 1 (Teori Pembelajaran).

Evaluasi mempunyai peranan penting dalam pendidikan, mengapa?
Menurut saudara, Apa peranan evaluasi dalam proses pendidikan ?

Belajar dan Motivasinya...

1. Pengertian Belajar

Setiap orang menjadi dewasa karena belajar dan pengalaman selama hidupnya. Belajar pada umumnya dilakukan seseorang sejak mereka ada di dunia ini. Ada beberapa ahli yang mendefinisikan istilah belajar dengan beberapa uraian yang tidak sama. Untuk dapat memahami dan mempunyai gambaran yang luas, berikut ini diberikan beberapa pengertian belajar menurut beberapa ahli :

a. Whittaker, belajar adalah proses tingkah laku yang ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.

b. Kimble, belajar adalah perubahan relatif permanen dalam potensi bertindak, yang berlangsung sebagai akibat adanya latihan yang diperkuat.

c. Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.

d. Sdaffer, belajar merupakan perubahan tingkah laku yang relatif menetap, sebagai hasil pengalaman-pengalaman atau praktik.

Berdasarkan definisi di atas dapat dikatakan bahwa, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru sebagai pengalaman individu itu sendiri.

Perubahan yang terjadi setelah seseorang melakukan kegiatan belajar dapat berupa ketrampilan, sikap, pengertian ataupun pengetahuan. Belajar merupakan peristiwa yang terjadi secara sadar dan disengaja, artinya seseorang yang terlibat dalam peristiwa belajar pada akhirnya menyadari bahwa ia mempelajari sesuatu, sehingga terjadi perubahan pada dirinya sebagai akibat dari kegiatan yang disadari dan sengaja dilakukannya tersebut.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar

Belajar merupakan hal yang kompleks. Apabila ini dikaitkan dengan hasil belajar siswa, ada beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Menurut Suryabrata (1989:142), faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi 3, yaitu: faktor dari dalam, faktor dari luar dan faktor instrumen.

Faktor dari dalam yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi belajar yang berasal dari siswa yang sedang belajar. Faktor-faktor ini meliputi :

a. Fisiologi, meliputi kondisi jasmaniah secara umum dan kondisi panca indra. Anak yang segar jasmaninya akan lebih mudah proses belajarnya. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi, kondisi panca indra yang baik akan memudahkan anak dalam proses belajar.

a. Kondisi psikologis, yaitu beberapa faktor psikologis utama yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar adalah kecerdasan, bakat, minat, motivasi, emosi dan kemampuan kognitif.

1). Faktor kecerdasan yang dibawa individu mempengaruhi belajar siswa. Semakin individu itu mempunyai tingkat kecerdasan tinggi, maka belajar yang dilakukannya akan semakin mudah dan cepat. Sebaliknya semakin individu itu memiliki tingkat kecerdasan rendah, maka belajarnya akan lambat dan mengalami kesulitan belajar.

2). Bakat individu satu dengan lainnya tidak sama, sehingga menimbulkan belajarnya pun berbeda. Bakat merupakan kemampuan awal anak yang dibawa sejak lahir.

3). Minat individu merupakan ketertarikan individu terhadap sesuatu. Minat belajar siswa yang tinggi menyebabkan belajar siswa lebih mudah dan cepat.

4). Motivasi belajar antara siswa yang satu dengan siswa lainnya tidaklah sama. Adapun pengertian motivasi belajar adalah ”Sesuatu yang menyebabkan kegiatan belajar terwujud”. Motivasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: cita-cita siswa, kemampuan belajar siswa, kondisi siswa, kondisi lingkungan, unsur-unsur dinamis dalam belajar dan upaya guru membelajarkan siswa.

5). Emosi merupakan kondisi psikologi (ilmu jiwa) individu untuk melakukan kegiatan, dalam hal ini adalah untuk belajar. Kondisi psikologis siswa yang mempengaruhi belajar antara lain: perasaan senang, kemarahan, kejengkelan, kecemasan dan lain-lain.

6). Kemampuan kognitif siswa yang mempengaruhi belajar mulai dari aspek pengamatan, perhatian, ingatan, dan daya pikir siswa.

Faktor dari luar yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar siswa yang mempengaruhi proses dan hasil belajar. Faktor-faktor ini meliputi :

a. Lingkungan alami

Lingkungan alami yaitu faktor yang mempengaruhi dalam proses belajar misalnya keadaan udara, cuaca, waktu, tempat atau gedungnya, alat-alat yang dipakai untuk belajar seperti alat-alat pelajaran.

1). Keadaan udara mempengaruhi proses belajar siswa. Apabila udara terlalu lembab atau kering kurang membantu siswa dalam belajar. Keadaan udara yang cukup nyaman di lingkungan belajar siswa akan membantu siswa untuk belajar dengan lebih baik.

2). Waktu belajar mempengaruhi proses belajar siswa misalnya: pembagian waktu siswa untuk belajar dalam satu hari.

3). Cuaca yang terang benderang dengan cuaca yang mendung akan berbeda bagi siswa untuk belajar. Cuaca yang nyaman bagi siswa membantu siswa untuk lebih nyaman dalam belajar.

4). Tempat atau gedung sekolah mempengaruhi belajar siswa. Gedung sekolah yang efektif untuk belajar memiliki ciri-ciri sebagai berikut: letaknya jauh dari tempat-tempat keramaian (pasar, gedung bioskop, bar, pabrik dan lain-lain), tidak menghadap ke jalan raya, tidak dekat dengan sungai, dan sebagainya yang membahayakan keselamatan siswa.

5). Alat-alat pelajaran yang digunakan baik itu perangkat lunak (misalnya, program presentasi) ataupun perangkat keras (misalnya Laptop, LCD).

b. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial di sini adalah manusia atau sesama manusia, baik manusia itu ada (kehadirannya) ataupun tidak langsung hadir. Kehadiran orang lain pada waktu sedang belajar, sering kali mengganggu aktivitas belajar. Dalam lingkungan sosial yang mempengaruhi belajar siswa ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) lingkungan sosial siswa di rumah yang meliputi seluruh anggota keluarga yang terdiri atas: ayah, ibu, kakak atau adik serta anggota keluarga lainnya, (2) lingkungan sosial siswa di sekolah yaitu: teman sebaya, teman lain kelas, guru, kepala sekolah serta karyawan lainnya, dan (3) lingkungan sosial dalam masyarakat yang terdiri atas seluruh anggota masyarakat.

Faktor instrumental adalah faktor yang adanya dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil yang diharapkan. Faktor instrumen ini antara lain: kurikulum, struktur program, sarana dan prasarana, serta guru.

Faktor instrumen yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pembelajaran adalah media pembelajaran. Dalam hal ini adalah media komputer dengan memanfaatkan program animasi SWiSH yang digunakan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.

3. Motivasi Belajar

Wlodkowski (dalam Suciati, 2001:52) menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, serta yang memberi arah dan ketahanan (persistence) pada tingkah laku tersebut. Sementara Ames dan Ames (Suciati, 2001) menjelaskan motivasi sebagai perspektif yang dimiliki seseorang mengenai dirinya sendiri dan lingkungannya. Menurut definisi ini, konsep diri yang positif akan menjadi motor penggerak bagi kemauan seseorang.

Dalam proses belajar, motivasi seseorang tercermin melalui ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses, meskipun dihadang banyak kesulitan. Motivasi juga ditunjukkan melalui intensitas unjuk kerja dalam melakukan suatu tugas. McClelland menunjukkan bahwa motivasi berprestasi (achievement motivation) mempunyai kontribusi sampai 64 persen terhadap prestasi belajar.

Dari berbagai teori motivasi yang berkembang, Keller (1983) telah menyusun seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, yang disebut sebagai model ARCS, yaitu:

a. Attention (Perhatian)

Perhatian peserta didik muncul karena didorong rasa ingin tahu. Oleh sebab itu, rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan, sehingga peserta didik akan memberikan perhatian selama proses pembelajaran. Rasa ingin tahu tersebut dapat dirangsang melalui elemen-elemen yang baru, aneh, lain dengan yang sudah ada, kontradiktif atau kompleks.

Apabila elemen-elemen tersebut dimasukkan dalam rencana pembelajaran, hal ini dapat menstimulus rasa ingin tahu peserta didik. Namun, perlu diperhatikan agar tidak memberikan stimulus yang berlebihan, untuk menjaga efektifitasnya.

b. Relevance (Relevansi)

Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pembelajaran dengan kebutuhan dan kondisi peserta didik. Motivasi peserta didik akan terpelihara apabila mereka menganggap bahwa apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang.

Kebutuhan pribadi (basic need) dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu motif pribadi, motif instrumental dan motif kultural. Motif nilai pribadi (personal motif value), menurut McClelland mencakup tiga hal, yaitu (1) kebutuhan untuk berprestasi (needs for achievement), (2) kebutuhan untuk berkuasa (needs for power), dan (3) kebutuhan untuk berafiliasi (needs for affiliation).

Sementara nilai yang bersifat instrumental, yaitu keberhasilan dalam mengerjakan suatu tugas dianggapm sebagai langkah untuk mnecapai keberhasilan lebih lanjut. Sedangkan niali kultural yaitu apabila tujuan yang ingin dicapai konsisten atau sesuai dengan nilai yang dipegang oleh kelpmpok yang diacu peserta didik, seperti orang tua, teman, dan sebagainya.

c. Confidence (Percaya diri)

Merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk dapat berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman sukses di masa lampau. Motivasi dapat memberikan ketekunan untuk membawa keberhasilan (prestasi), dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan memotivasi untuk mengerjakan tugas berikutnya.

d. Satisfaction (Kepuasan)

Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan. Kepuasan karena mencapai tujuan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima, baik yang berasal dari dalam maupun luar individu. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi peserta didik, dapat menggunakan pemberian penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian kesempatan, dsb.

Wednesday, November 28, 2007

Ngajar di UT

Sabtu, 24 November kemaren dapat tugas jadi tutor di kelas tutorial mahasiswa Universitas Terbuka (UT) di Kendal, pengalaman menarik yang belum saya jumpai sebelumnya, ternyata di salah satu kelas (dari 3 kelas yang ada) ternyata ada guru SD saya. Meskipun dah sering ngajar orang2 tua, tp krn baru kali ini ngajar mantan gurunya, jd agak nervous jg :-). bersyukur jg sih, malah bisa balas budi, dulu saya di didik hingga bs jd seperti sekarang..

Saturday, November 24, 2007

Kekalahan Inggris menelan korban

Kekalahan Inggris dari Kroasia rabu lalu ternyata memakan korban.. Steve McLaren, sang pelatih, akhirnya dipecat oleh FA... (padahal inggris kalahnya tipis, tp pelatih Timnas Indonesia kok aman-aman saja ya? padahal kita abis dihajar 1-4 dan 0-7, sungguh memalukan dunia persepakbolaan kita...

Thursday, November 22, 2007

Derita Timnas Inggis

rasa penasaran selama beberapa hari ini akhirnya terjawab sudah... "The three lion" akhirnya harus menelan pil pahit : tersing dari kancah piala eropa 2008. Setelah "diberi" kesempatan oleh rusia sabtu lalu (17/11/07) karena rusia kalah dari israel, ternyata inggris menyia-nyiakan kesempatan itu, karena secara menyakitkan mereka kalah dari Kroasia 2-3 dikandang sendiri..

Tuesday, October 2, 2007

UJIAN NASIONAL : UPAYA PERBAIKAN KUALITAS PENDIDIKAN INDONESIA?

Pendahuluan
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya, sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah (tahun 2008 nanti, pada jenjang Sekolah Dasar juga akan diselenggarakan Ujian Nasional).
Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1 dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.

Alasan Pelaksanaan Ujian Nasional
Alasan pemerintah menyelenggarakan UN, pertama, mengukur dan menilai kompetensi peserta didik dalam bidang pengetahuan dan teknologi. Hasil ujian ini juga akan dipergunakan untuk ukuran tingkat pencapaian pendidikan nasional.
Kedua, hasil ujian dipakai sebagai instrumen penentu kelulusan dan pemberian ijazah bagi peserta didik. Dalam konteks yang sama, hasil ujian ini dipergunakan sebagai alat untuk memetakan mutu sekolah dan mutu pendidikan secara nasional serta bahan pertimbangan akreditasi bagi sekolah.
Jika merujuk UU No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional kewenangan menyelenggarakan evaluasi belajar peserta didik menjadi tanggung jawab guru dan sekolah. Dengan kata lain, menyelenggarakan UN berarti keinginan memperbarui kondisi pendidikan nasional semakin menjauh dari harapan. Ditinjau dari sudut undang-undang, pertimbangan pedagogis, dan alasan efektivitas dan efisiensi UN tidak banyak bermanfaat. Dicemaskan, UN hanya menyerap energi yang tidak kecil dari kalangan pendidik. Bahkan besar kemungkinan menjadi ajang proyek hanya menguntungkan segelintir orang. Yang menjadi persoalan kini ialah, belum tersedianya standardisasi pendidikan nasional. Selama belum dibentuk Badan Independen yang bertugas memetakan kualitas pendidikan nasional, penyelenggaraan UN tidak maksimal karena peta pendidikan di Tanah Air masih bias dan samar-samar.
Pada saat ini, banyak sekolah belum memenuhi standar minimal sekalipun, sehingga tidak menutup kemungkinan, jika dipaksakan UN dan kemudian hasilnya diketahui buruk, kebijakan konversi diterapkan kembali. Jika UN hendak dipakai sebagai standar pendidikan, harus dilakukan dengan kepenuhan standar pelayanan minimal seperti kecukupan tenaga pendidik, sarana prasarana maupun penunjang lain.
Hingga kini sebagian besar SD, SMP dan SLTA menunjukkan kurangnya tenaga pendidik baik dari segi kualitas dan kuantitas, buku dan alat laboratorium. Pada saat sekolah tidak dalam keadaan standar yang sama kemudian diukur dengan tolok ukur yang sama justru tidak adil dan tidak fair.
Keragaman soal yang disesuaikan dengan mutu pendidikan, justru berpotensi memicu kesenjangan dan keresahan sosial di kalangan pendidik dan peserta didik. Dengan cara itu akan ada sekolah bermutu, kurang bermutu, sekaligus sekolah gombal, supergombal yang jelas-jelas merendahkan martabat peserta didik, sekolah, pendidik dan orang tua. Bagaimanapun, jika sebuah sekolah memperoleh soal ujian spektrum dua dan tiga akan menjadi promosi yang buruk bagi calon peserta didik. Bahkan sangat mungkin pada tahun ajaran berikutnya, sekolah yang dikategorikan dengan spektrum 2 dan 3 tidak mendapat murid baru.

Alat Ukur Sama

Sebagai alat pengukur mutu pendidikan nasional, jangan alat ukurnya yang dibeda-bedakan. Sebagai pengukur, soal-soal UN mestinya sama untuk semua jenis sekolah baik bermutu dan tidak bermutu. Yang menjadi masalah pada masa kini ialah, tidak semua sekolah mendapat kesempatan meningkatkan mutu pendidikan dengan guru yang memadai sekaligus berkualitas, sarana yang lengkap berikut buku-bukunya. Tidak meratanya distribusi penunjang pendidikan inilah yang menjadi sebab mengapa alat ukur yang bersifat nasional tidak pernah memuaskan semua pihak. Idealnya, benahi dulu infrastruktur pendidikan seperti gedung, guru, buku, laboratorium baru diadakan pengukuran kualitas pendidikan nasional. Lagi pula, pada era otonomi daerah dimana upaya pemberdayaan daerah tengah digalakkan, penyelenggaraan ujian berskala nasional dan sentralistis mestinya dihapuskan.
Karakter masing-masing daerah mempunyai keragaman yang berbeda-beda. Lagipula, yang disebut dengan pendidikan adalah proses dan bukan hasil semata. Penyelenggaraan UN hanyalah salah satu alat ukur saja dari segi hasil, sementara proses tidak pernah terukur dengan mekanisme ujian yang selama ini sudah berjalan. Lain halnya, jika evaluasi pendidikan diserahkan kepada guru di masing-masing sekolah proses belajar anak didik akan diketahui.
UN pada saat yang sama justru menjadi ajang pemborosan anggaran. Untuk jenjang SLTA, nilai-nilai UN tidak banyak bermanfaat bahkan boleh dikatakan mubazir. Selama ini, hampir semua perguruan tinggi menyelenggarakan sendiri Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan tidak mempergunakan nilai murni UN. Bahkan beberapa SLTA juga menyelenggarakan sendiri tes penerimaan siswa baru dan nilai murni ujian hanya dipakai sebagai pertimbangan saja.
Kalau demikian halnya, UN hanya akan menjadi beban orang tua yang harus menambah biaya pendidikan bagi anaknya, sekolah dan guru yang harus ngedril latihan-latihan soal untuk menghadapi ujian. Bahkan sering terjadi, materi yang mestinya diberikan sampai selesai justru tidak diberikan karena pertimbangan mempersiapkan anak-anak menghadapi ujian.

Cermin Kualitas
Strategi ngedril untuk mempersiapkan ujian sesungguhnya tidak menyebabkan para siswa kian memahami substansi pelajaran secara keseluruhan. Yang terjadi hanyalah melatih para siswa menyiasati soal-soal ujian. Hal ini terpaksa ditempuh untuk menyiasati ambang batas kelulusan. Dengan lain kata, jika penyelenggaraan UN dihadapi dengan cara demikian sesungguhnya tidak mencerminkan kualitas pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sebelum ada pemetaan pendidikan yang dilakukan oleh badan independen, kiranya pemaksaan penyelenggaraan UN hanya akan memicu polemik dan kontroversi berkepanjangan di kalangan masyarakat. Jika kebijakan ini menjadi polemik, yang menjadi korban adalah pendidik, anak didik dan orang tua karena menghadapi ketidakpastian dalam pendidikan. Pemerintah tidak perlu memaksakan diri mengadakan UN. Pemerintah, pada era otonomi ini cukup memberikan rambu-rambunya atau kisi-kisi saja sementara pembuatan soal sepenuhnya diserahkan kepada sekolah. Evaluasi pendidikan diserahkan sepenuhnya kepada guru sesuai dengan undang-undang.
Di tengah beragam wacana perlu tidaknya diadakan UN dan relevansinya bagi anak didik, mestinya pemerintah menempatkan kebijakan otonomi pendidikan sebagai pertimbangan utama. Bukankah dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang digulirkan pemerintah setahun silam, sekolah diberi keleluasaan penuh mengatur rumah tangganya sendiri termasuk dalam hal ujian.
Kiranya, pada saat ini tepat menghapuskan hegemoni negara dalam penyelenggaraan ujian berskala nasional. Selama ini, alat itu terbukti tidak menjamin kualitas pendidikan kian menjadi baik.
Pemerintah hendaknya meninjau kembali kebijakan dan praktik pendidikan dengan menjadikan ujian nasional sebagai penentu tunggal kesuksesan siswa. Ada dua pertimbangan utama yang mesti diperhatikan. Pertama, menyangkut kaitan antara pengujian kompetensi siswa dan bangunan kurikulum yang diterapkan pada pendidikan nasional. Kedua, terkait dengan pelaksanaan dari amanah konstitusi tentang kompetensi kelulusan yang diberlakukan secara nasional.

Bangunan Kurikulum
Saya sependapat dengan prinsip pentingnya penguatan mekanisme pengujian kecakapan siswa melalui ujian nasional. Namun, bagi saya, persoalannya bukan di situ. Ada masalah mendasar yang menyelimuti mekanisme pengujian itu, yakni terkait dengan pemberlakuan kurikulum di pendidikan nasional kita. Kita perlu meletakkan persoalan ujian nasional pada sistem pengenaan kurikulum yang dikembangkan di pendidikan tanah air. Pendidikan Indonesia dikembangkan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang kini lebih disempurnakan melalui desain dan bangunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Inti dari desain dan bangunan kurikulum seperti ini adalah upaya untuk mengapresiasi kompetensi masing-masing siswa sesuai dengan keragaman individual (individual differences) yang dimiliki oleh siswa itu sendiri.
Oleh karena itu, dengan menjunjung tinggi prinsip kompetensi ini, bangunan dasar kebijakan ujian nasional sungguh menyisakan persoalan. Muatan kompetensi yang dikembangkan oleh kurikulum telah direduksi sedemikian rupa melalui mekanisme pengujian tiga mata pelajaran dalam ujian nasional, yakni matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Seorang siswa yang prestasi akademiknya secara umum sangat bagus bisa saja akhirnya dinyatakan tidak lulus karena nilai yang diperolehnya untuk salah satu bidang studi yang di-UN-kan lebih rendah daripada standar minimal yang diberlakukan secara nasional.
Kebijakan tidak meluluskan siswa karena nilai satu di antara tiga mata pelajaran yang di-UN-kan di bawah standar yang diterapkan sama saja artinya dengan membunuh kompetensi siswa yang bersangkutan. Ini sungguh ironis dan bertentangan sama sekali dengan prinsip kurikulum (apapun nama kemasan kurikulum itu) yang sangat menghargai kompetensi dan perbedaan potensi individual siswa.
Bahasa Indonesia, Inggris dan matematika memang mencerminkan kompetensi dasar manusia, yakni bahasa dan logika. Namun, bukan berarti kegagalan pada salah satu bisa memberangus kompetensi atau potensi yang lain. Oleh karena itu, kalau standar pengukuran kelulusan siswa harus ditentukan pada kelulusan ketiga mata pelajaran di atas, maka kurikulum nasional pendidikan harus diubah dulu. Ibarat sebuah produksi, kurikulum merupakan mesin dan sekaligus bahan produksi. Maka, proses quality control-nya harus mempertimbangkan bahan dan mesin itu secara keseluruhan.
Kalau standar kelulusan tetap pada kelulusan tiga mata pelajaran di atas, sementara kurikulumnya tetap mengapresisasi pola kompetensi dan potensi individual anak, maka ibaratnya kita sedang menegakkan prinsip ”nila setitik rusak susu sebelanga”. Kegagalan satu mata pelajaran bisa menghanguskan semua mata pelajaran yang pernah diajarkan di sekolah. Oleh karena itu, kelulusan siswa tidak bisa hanya sekadar dilihat dari prinsip ”kompetisi dengan konsekuensi degradasi”, sebagaimana dalam kompetisi liga sepak bola, melalui mekanisme UN tanpa melihat sistem pembelajaran yang lebih luas.
Amanah Konstitusi
Pasal 35 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan adanya ’kompetensi kelulusan’ yang ditetapkan secara nasional mestinya tidak dimaknai dalam bentuk menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya faktor kelulusan. Ini menjadi masalah mendasar kedua di balik kebijakan ujian nasional yang dijadikan sebagai standar kelulusan.
Seharusnya ada mekanisme yang menyertakan peran sekolah dan guru dalam menentukan kelulusan siswa didik. Kalau tidak, pemerintah sama artinya dengan ikut memperpuruk kondisi sosial pendidikan nasional. Bentuknya adalah menjadikan kemampuan kognitif melalui kecakapan pada tiga mata pelajaran sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa adanya pertimbangan dan penilaian yang sama terhadap aspek afektif dan psikomotorik, yang catatan persisnya hanya diketahui oleh pihak sekolah dan guru.
Padahal, dua aspek yang disebut terakhir memiliki peran yang sama dengan aspek kognitif dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Tingginya perilaku culas dan semakin tenggelamnya prinsip kejujuran dalam praktik bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di negeri ini, bahkan, sangat kerap diawali oleh lemahnya penguatan domain afektif dan psikomorotik dalam proses pendidikan nasional. Dan, sekolah menjadi media pelestarian kecenderungan praktik semacam ini.
Kalau kebijakan penyamaan kecakapan siswa dengan kelulusan tiga mata pelajaran yang di-UN-kan terus diterapkan tanpa menyertakan pihak sekolah dan atau guru, konsekuensinya akan panjang. Sebab, hal ini akan mendorong siswa, dan termasuk guru serta institusi pengelola pendidikan, untuk semata-mata menumpahkan perhatian pada tiga mata pelajaran yang di-UN-kan tersebut, sementara melupakan esensi pendidikan yang lebih besar. Termasuk menyangkut proses pembentukan karakter dan penanaman nilai dan budaya bangsa.
Kalau hal ini terjadi, maka benar pula peringatan soerang filosof dan pendidikan Amerika, John Caldwell Holt (lihat How Children Fail, 1964), yang menjadi embrio bagi merebaknya konsep dan praktik sekolah rumah (homeshooling): ”The academic failure of schoolchildren was not in spite of the efforst of the schools, but actually because of the schools.” Pengertiannya, ”kegagalan akademik anak sekolah bukanlah karena buruknya upaya pihak sekolah, tetapi memang karena sistem persekolahan itu sendiri yang menjadi penyebabnya.”

Daftar Pustaka

Haryanti, Mien dan Paulus Mujiran. Kontroversi Ujian Nasional. Suara Merdeka : 15 Februari 2005.
Irawan, Ade. Kontroversi Ujian Nasional. Koran Tempo : 4 Februari 2005.
Maksum, Ali dan Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Postmodern. Yogyakarta : IRCiSoD.
Muzakki, Akhmad. Menakar Unas, Memperbaiki Persekolahan. Duta Masyarakat : 5 Juli 2007.
Ratnawati, Sinta (ed). 2002. Sekolah Alternatif untuk Anak. Jakarta : Kompas.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Pengembangan Kurikulum, teori dan Praktek. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Susilo, Joko. 2007. Kurikuum Tingkat Satuan Pendidikan, Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Susilo, Joko. 2007. Pembodohan Siswa Tersistematis. Yogyakarta : Pinus book Publisher.

Wednesday, September 19, 2007

Kontroversi Ujian Nasional Sekolah Dasar

Pelaksanaan Ujian Nasional untuk Sekolah Dasar yang sedianya akan dilaksanakan pada akhir tahun ajaran 2007/2008 kini masih menjadi perdebatan, berikut adalah salah satu berita di surat kabar yang memuat kontroversi itu :


SUARA PEMBARUAN DAILY

Kaji Ulang UN SD

[JAKARTA] Keinginan pemerintah untuk tetap menyelenggarakan ujian
nasional sekolah dasar (UN SD) menuai kritikan dari anggota Komisi X
DPR. Anggaran UN dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) tahun 2008 sebesar Rp 754 miliar dinilai lebih baik digunakan
untuk menunjang kegiatan edukatif di sekolah.

Anggaran untuk UN SD dalam RAPBN 2008 sebesar Rp 500 miliar digunakan
untuk sekitar lima juta siswa. Sementara untuk pelaksanaan UN SMP dan
yang sederajat dialokasikan Rp 150 miliar, dan UN SMA dan yang sederajat
direncanakan sebesar Rp 104 miliar.

"Dalam sistem pendidikan dasar, SD dan SMP merupakan satu kesatuan.
Tidak ada istilah lulus atau tidak untuk level SD. Kebijakan UN untuk SD
harus dikaji ulang, kalau perlu ditiadakan," kata anggota Komisi X DPR,
I Wayan Koster, saat dihubungi /SP/, Selasa (18/9).

Wayan mengingatkan, pemerintah seharusnya membuka mata terhadap realitas
kondisi pendidikan di tingkat SD. Di daerah pedalaman, misalnya,
kondisinya sangat parah, baik dari segi gedung, sarana belajar, maupun
guru. "Banyak sekolah yang gurunya sangat terbatas sehingga merangkap
sebagai kepala sekolah dan pegawai tata usaha," ujar Wayan.

Pandangan serupa disampaikan Wakil Ketua Komisi X DPR, Anwar Arifin. Dia
mengatakan, anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk hal-hal
yang menjadi prioritas, seperti perbaikan sarana dan prasarana
pendidikan, karena masih banyak sekolah dalam kondisi rusak bahkan
sebagian sudah ambruk. UN SD diminta dikaji lebih dulu.

Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo, seusai rapat kerja dengan
Komisi X DPR, di Jakarta, Senin (17/9), menegaskan, UN SD sudah sesuai
Undang- Undang No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 19/2005 tentang Standar
Pendidikan Nasional. Karena itu, UN SD tetap diselenggarakan pada 2008.
[W-12]

Sunday, September 16, 2007

Puasa Ramadhan 1428 H

Marhaban ya Ramadhan..
maap ya, agak terlambat postingnya ;)
Bulan suci, bulan penuh berkah telah datang kembali...
tak terasa, ternyata qta sdh melaluinya selama 4 hari..
semoga bulan yang istimewa ini juga dapat menjadikan qta sebagai insan yang istimewa juga..
amal ibadah yang qta rintis tidak berhenti di akhir bulan ramadhan, tapi ini benar-benar menjadi starting point bagi qta u/ selalu berusaha menjadi hamba yang baik... amin...

Monday, July 23, 2007

Wednesday, July 4, 2007

E-learning Berbasis Web sebagai Bahan Belajar Mandiri

Heri Triluqman BS *)

ABSTRAK: Dalam era global, mau tidak mau kita harus berhubungan dengan teknologi, khususnya teknologi informasi. Pemanfataan e-learning khususnya internet untuk kegiatan pembelajaran, baik sebagai virtual library atau virtual campus telah dilaksanakan di seluruh penjuru dunia. E-learning merupakan salah satu media yang dapat dimanfaatkan dalam belajar, terutama belajar mandiri. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah peningkatan kemauan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman, atau orang lain dalam belajar. Tugas guru/instruktur dalam proses belajar mandiri ialah menjadi fasilitator, menjadi orang yang siap memberikan bantuan kepada siswa/peserta didik bila diperlukan. Terutama, bantuan dalam menentukan tujuan belajar, memilih bahan dan media belajar, serta dalam memecahkan kesulitan yang tidak dapat dipecahkan siswa sendiri. Tugas sebagai perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi ke dalam format sesuai dengan pola belajar mandiri.
Kata Kunci: Belajar Mandiri, e-learning


Pembelajaran dewasa ini menghadapi 2 tantangan. Tantangan yang pertama datang dari adanya perubahan persepsi tentang belajar itu sendiri dan tantangan kedua datang dari adanya teknologi informasi dan telekomunikasi yang memperlihatkan perkembangan yang luar biasa. Konstruktivisme pada dasarnya telah menjawab tantangan yang pertama dengan meredefinisi belajar sebagai proses konstruktif dimana informasi diubah menjadi pengetahuan melalui proses interpretasi, korespondensi, representasi, dan elaborasi. Sementara itu, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat yang menawarkan berbagai kemudahan-kemudahan baru dalam pembelajaran memungkinkan terjadinya pergeseran orientasi belajar dari outside-guided menjadi self-guided dan dari knowledge-as-possesion menjadi knowledge-as-construction. Lebih dari itu, teknologi ini ternyata turut pula memainkan peran penting dalam memperbaharui konsepsi pembelajaran yang semula fokus pada pembelajaran sebagai semata-mata suatu penyajian berbagai pengetahuan menjadi pembelajaran sebagai suatu bimbingan agar mampu melakukan eksplorasi sosial budaya yang kaya akan pengetahuan.
Pembaruan teori belajar melalui notion konstruktivisme dan pergeseran-pergeseran yang terjadi karena adanya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi merupakan dua hal yang sangat sejalan dan saling memperkuat. Konstruktivisme dan teknologi komputer, secara terpisah maupun bersama-sama telah menawarkan peluang-peluang baru dalam proses pembelajaran, baik di ruang kelas, belajar jarak jauh maupun belajar mandiri. Salah satu tulisan (Tam. M, Educational Technology, Volume 3 Number 2, 2000) melaporkan bahwa komputer dapat secara efektif digunakan untuk mengembangkan higher-order thinking skills yang terdiri dari kemampuan mendefinisikan masalah, menilai (judging) suatu informasi, memecahkan masalah dan menarik kesimpulan yang relevan.

BELAJAR MANDIRI
Belajar mandiri tidak berarti belajar sendiri. Hal yang terpenting dalam proses belajar mandiri ialah peningkatan kemauan dan keterampilan siswa/peserta didik dalam proses belajar tanpa bantuan orang lain, sehingga pada akhirnya siswa/peserta didik tidak tergantung pada guru/instruktur, pembimbing, teman, atau orang lain dalam belajar. Dalam belajar mandiri siswa/peserta didik akan berusaha sendiri dahulu untuk memahami isi pelajaran yang dibaca atau dilihatnya melalui media audio visual. Kalau mendapat kesulitan barulah bertanya atau mendiskusikannya dengan teman, guru/instruktur atau orang lain. Siswa/peserta didik yang mandiri akan mampu mencari sumber belajar yang dibutuhkannya.
Proses belajar mandiri memberi kesempatan peserta didik untuk mencerna materi ajar dengan sedikit bantuan guru. Mereka mengikuti kegiatan belajar dengan materi ajar yang sudah dirancang khusus sehingga masalah atau kesulitan belajar sudah diantisipasi sebelumnya. Model belajar mandiri ini sangat bermanfaat, karena dianggap luwes, tidak mengikat serta melatih kemandirian siswa agar tidak bergantung atas kehadiran atau uraian materi ajar dari guru. Berdasarkan gagasan keluwesan dan kemandirian inilah belajar mandiri telah ber’metamorfosis’ sedemikian rupa, diantaranya menjadi sistem belajar terbuka dan belajar jarak jauh. Perubahan tersebut juga dipengaruhi oleh ilmu-ilmu lain dan kenyataan di lapangan.
Proses belajar mandiri mengubah peran guru atau instruktur, menjadi fasilitator atau perancang proses belajar. Sebagai fasilitator, seorang guru atau instruktur membantu peserta didik mengatasi kesulitan belajar, atau ia dapat menjadi mitra belajar untuk materi tertentu pada program tutorial. Tugas perancang proses belajar mengharuskan guru untuk mengolah materi ke dalam format sesuai dengan pola belajar mandiri.
Sistem belajar mandiri menuntut adanya materi ajar yang dirancang khusus untuk itu. Menurut Prawiradilaga (2004 : 194) Beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh materi ajar ini adalah:
1). Kejelasan rumusan tujuan belajar (umum dan khusus).
2). Materi ajar dikembangkan setahap demi setahap, dikemas mengikuti alur desain pesan, seperti keseimbangan pesan verbal dan visual.
3). Materi ajar merupakan sistem pembelajaran lengkap, yaitu ada rumusan tujuan belajar, materi ajar, contoh/bukan contoh, evaluasi penguasaan materi, petunjuk belajar dan rujukan bacaan.
4). Materi ajar dapat disampaikan kepada siswa melalui media cetak, atau komputerisasi seperti CBT, CD-ROM, atau program audio/video.
5). Materi ajar itu dikirim dengan jasa pos, atau menggunakan teknologi canggih dengan internet (situs tertentu) dan e-mail; atau dengan cara lain yang dianggap mudah dan terjangkau oleh peserta didik.
6). Penyampaian materi ajar dapat pula disertai program tutorial, yang diselenggarakan berdasarkan jadwal dan lokasi tertentu atau sesuai dengan kesepakatan bersama.

APA ITU E-LEARNING?
E-learning terdiri dari dua bagian, yaitu ‘e’ yang merupakan singkatan dari ‘elektronic’ dan ‘learning’ yang berarti ‘pembelajaran’. Jadi e-learning berarti pembelajaran dengan menggunakan jasa bantuan perangkat elektronika, khususnya perangkat komputer. Karena itu, maka e-learning sering disebut pula dengan ‘online course’. Dalam berbagai literatur, e-learning didefinisikan sebagai berikut :
E-learning is a generic term for all technologically supported learning using an array of teaching and learning tools as phone bridging, audio and videotapes, teleconferencing, satellite transmissions, and the more recognized web-based training or computer aided instruction also commonly referred to as online courses (Soekartawi, 2003)

Dengan demikian maka e-learning atau pembelajaran melalui online adalah pembelajaran yang pelaksaanya didukung oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, videotape, transmisi satelit atau komputer.
Dalam perkembanganya, komputer dipakai sebagai alat bantu pembelajaran, karena itu dikenal dengan istilah computer based learning (CBL) atau computer assisted learning (CAL). Saat pertama kali komputer mulai diperkenalkan khususnya untuk pembelajaran, maka komputer menjadi popular dikalangan anak didik. Hal ini dapat dimengerti karena berbagai variasi teknik mengajar bisa dibuat dengan bantuan kompter tersebut. Maka setelah itu teknologi pembelajaran terus berkembang dan dikelompokan menjadi dua yaitu :
1). Technology-based learning
2). Technology-based Web-learning
Technology based-learning ini pada prinsipnya terdiri dari dua, yaitu audio information technologies (audio tape, radio, voice mail, telepone ) dan video information technologies (video tape, nideo text, video messaging). Sedangkan technology based web-learning pada dasarnya adalah data information tecbnologies (bulletin board, internet, email, tele-collaboration).
Dalam pelaksanaan pembelajaran sehari-hari, yang sering dijumpai adalah kombinasi dari teknologi yang dituliskan di atas (audio/data, video/data, audio/video). Teknologi ini juga sering dipakai pada pendidikan jarak jauh, dimaksudkan agar komunikasi antara murid dan guru bisa terjadi dengan keunggulan teknologi e-learning ini. Sedangkan interaksi antara guru dan murid bisa dilaksanakan melalui cara langsung (synchronous) atau tidak langsung, misalnya pesan direkam dahulu sebelum digunakan. Cara ini dikenal dengan nama e-synchronous.

KARAKTERISTIK E-LEARNING
Karakteristik e-learning antara lain adalah:
1). Memanfaatkan jasa teknologi elektronik; dimana guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah dengan tanpa dibatasi oleh hal-hal yang protokelor;
2). Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) disimpan di komputer sehinga dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan dimana saja dan yang bersangkutan memerlukanya; dan
3). Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan dapat dilihat setiap saat di komputer.
Menurut Miarso (2004), Pemanfaatan E-learning tidak terlepas dari jasa internet. Karena teknik pembelajaran yang tersedia di internet begitu lengkap, maka hal ini akan mempengaruhi terhadap tugas guru dalam proses pembelajaran. Dahulu, proses belajar-mengajar didominasi oleh peranan guru, karena itu disebut the era of theacher. Kini, proses belajar-mengajar, banyak didominasi oleh peran guru dan buku (the era of teacher and book) dan pada masa mendatang proses belajar mengajar akan didominasi oleh guru, buku, dan teknologi (the era of teacher, book, and technology)

REKAYASA WEB
Rekayasa web adalah proses yang digunakan untuk menciptakan aplikasi web yang berkualitas tinggi. Rekayasa web mengadaptasi rekayasa perangkat lunak dalam hal konsep dasar yang menekankan pada aktifitas teknis dan manajemen. Namun demikian adaptasi tidak secara utuh, tapi dengan perubahan dan penyesuaian. Rekayasa web gabungan antara web publishing (suatu konsep yang berasal dari printed publishing) dan aktifitas rekayasa perangkat lunak, antara marketing dan komputerisasi, antara komunikais internal dan komunikasi eksternal serta antara seni dan teknologi [POW98]. Dikatakan demikian karena desain sebuah aplikasi web menekankan pada desain grafis, desain informasi, teori hypertext, desain sistem dan pemrograman.

Proses Rekayasa Web
Model yang dianggap cocok dan baik untuk rekayasa web adalah model modified waterfall dan spiral.

Tahapan dalam modified waterfall adalah :
● Problem definition dan concept exploration
● Requirement analysis specification
● Design prototyping
● Implementation and unit testing
● Integration and system testing
● Operation and maintenance
pada modified waterfall, perbedaan berada pada 2 proses pertama yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga disebut whirlpool. Tujuannya adalah dapat melengkapi requirement dan analisis secara lengkap.

Pada spiral terbagi beberapa sektor yaitu :
● Determine site objectives and constraints
● Identify and resolve risks
● Develop the deliverables for the interation and verify that they are correct
● Plan the next iteration
spiral model sangat masuk akal untuk rekayasa web tapi rumit dan sulit dalam pengaturan. Dibandingkan dengan waterfall, tahapan-tahapan pada spiral tidak jelas dimana mulai dan dimana akhir. Pada prakteknya spiral berguna selama perencanaan karena mengurangi resiko dan mendorong tim developer untuk memikirkan apa yang paling penting.
Analisis Rekayasa Web
Ada 4 tipe analisis dalam rekayasa web:
● Content Analysis. Isi yang akan disajikan oleh dalam aplikasis berbasis ditentukan formatnya baik itu berupa text, grafik dan image, video, dan audio.
● Interaction Analysis. Cara interaksi antara user dan aplikasi dijelaskan secara detail.
● Functional Analysis. Menentukan operasi yang akan diaplikasikan pada aplikasi berbasis web. Semua operasi dan fungsi dideskripsikan secara detil.
● Configuration Analysis. Lingkungan dan infrastruktur dimana WebApp akan diberada digambarkan secara detil.

Desain Web
Struktur Aplikasi Berbasis Web
Ada beberapa struktur yang bisa dipakai dalam aplikasi berbasis web, meliputi:
● Struktur linier
Urutan interaksi pada struktur linier disusun secara pasti. Struktur ini biasa digunakan untuk presentasi tutorial dan pemesanan produk.
● Struktur grid
Isi pada struktur grid dikategorikan pada dua atau lebih dimensi. Misal ecommerce untuk menjual HP, horisontal adalah kategori berdasarkan feature HP sedangkan vertikal adalah merk HP.

● Struktur jaringan
Komponen pada struktur jaringan terhubung satu sama lain, meskipun fleksibel struktur ini membingungkan pengguna

● Struktur hirarki
Struktur ini adalah struktur yang paling umum digunakan. Struktur ini memungkinkan aliran secara horisontal maupun vertikal.
Desain Navigasi
Setelah arsitektur aplikasi sudah terbentuk dan komponen-komponen seperti halaman, scripts, applet dan fungsi lain sudah ada, developer menentukan navigasi yang memungkinkan user mengakses isi aplikasi dan layanan-layanannya. Jika user tidak bisa berpindah ke halaman lain dalam web dengan mudah dan cepat maka mungkin karena grafik, dan isi tidak relevant, ini adalah masalah navigasi.
Dalam desain navigasi beberapa hal perlu dilakukan :
Menentukan semantik (arti ) dari navigasi untuk user yang berbeda.
Menentukan cara yang tepat: pilihannya adalah text-based links, icons, buttons and switches, and graphical metaphors

Desain Interface
User interface adalah kesan pertama. Sekalipun nilai isinya baik, kemampuan prosesnya canggih, layanannya lengkap namun jika user interfacenya buruk maka hal lain tidak berguna, karena akan membuat user berpindah ke web lain.
Beberapa petunjuk dalam merancang interface design :
Server errors, menyebabkan user pindah ke website.
Membaca di layar monitor lebih lambat 25% dari pada di kertas, karena itu teks jangan terlalu banyak.
Hindari tanda “under construction”.
User tidak suka scroll. Pastikan informasi cukup dalam satu layar.
Navigasi menu dan headbar harus konsisten.
Keindahan tidak seharusnya lebih penting dari pada fungsinya
Opsi navigasi harus jelas sehingga tahu bagaimana berpindah atau mencari hal lain pada halaman aktif.

Pengujian pada Rekayasa Web
Check isi/informasi untuk kesalahan yang mungkin terjadi, misalnya salah ketik.
Design model WebApp di- review untuk menemukan navigation errors.
Processing components an Web pages diuji.
Integration test untuk arsitektur web :
● Struktur linier, grid, atau hirarki sederhana dilakukan seperti pada software dengan pemrograman terstruktur (modular).
● Struktur hirarki campuran atau network (Web) dilakukan seperti pada Object oriented software.
Uji WebApp secara keseluruhan setelah disatukan semua komponennya secara lengkap.
WebApp yang diimplementasikan pada konfigurasi yang berbeda diuji kompatibilitasnya. Misalnya jika membuat di IE, coba di Netscape, dan Firefox
Applikasi diuji oleh sekelompok pengguna dengan kemampuan yang berbeda.Bagian yang diuji adalah isi, navigation, kemudahan penggunaan, kehandalan dan unjuk kerja.

FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN DALAM MEMANFAATKAN E-LEARNING BERBASIS WEB UNTUK PEMBELAJARAN
Ahli-ahli pendidikan dan internet menyarankan beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum seseorang memilih internet untuk kegiatan pembelajaran (Hartanto dan Purbo, 2002; serta Soekawati, 1999;) antara lain:
a. Analisis Kebutuhan (Need Analysis)
Dalam tahapan awal, satu hal yang perlu dipertimbangkan adakah apakah memang memerlukan e-learning. Untuk menjawab pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan perkiraan atau dijawab berdasarkan atas sasaran orang lain. Sebab setiap lembaga menentukan teknologi pembelajaran sendiri yang berbeda satu sama lain. Untuk itu perlu diadakan analisis kebutuhan. Kalau analisis ini dilaksanakan dan jawabanya adalah membutuhkan e-learning maka tahap berikutnya adalah membuat studi kelayakan, yang komponen penilaianya adalah:
1). Apakah secara teknis dapat dilaksanakan misalnya apakah jaringan internet bisa dipasang, apakah infrasruktur pendukungnya, seperti telepon, listrik, komputer tersedia, apakah ada tenaga teknis yang bisa mengoperasikanya tersedia.
2). Apakah secara ekonomis menguntungkan, misalnya apakah dengan e-learning kegiatan yang dilakukan menguntungkan atau apakah return on investment nya lebih besar dari satu.
3). Apakah secara sosial penggunaan e-kearning tersebut diterima oleh masyarakat
b. Rancangan Instruksional
Dalam menentukan rancangan instruksional ini perlu dipertimbangkan aspek-aspek (Soekartawi, 1999) :
1). Course content and learning unit analysis, seperti isi pelajaran, cakupan, topik yang relevan dan satuan kredit semester.
2). Learner analysis, seperti latar belakang pendidikan siswa, usia, seks, status pekerjaan, dan sebagainya.
3). Learning context analysis, seperti kompetisi pembelajaran apa yang diinginkan hendaknya dibahas secara mendalam di bagian ini.
4). Instructional analysis, seperti bahan ajar apa yang dikelompokan menurut kepentingannya, menyusun tugas-tugas dari yang mudah hingga yang sulit, dan seterusnya.
5). State instructional objectives, Tujuan instuksional ini dapat disusun berdasarkan hasil dari analisis instruksional.
6). Construct criterion test items, penyusunan tes ini dapat didasarkan dari tujuan instruksional yang telah ditetapkan.
7). Select instructional strategy, strategi instruksional dapat ditetapan berdasarkan fasilitas yang ada.
c. Tahap Pengembangan
Berbagai upaya dalam pengembangan e-learning bisa dilakukan mengikuti perkembangan fasilitas ICT yang tersedia hal ini kadang-kadang fasilitas ICT tidak dilengkapi dalam waktu yang bersamaan. Begitu pula halnya dengan prototype bahan ajar dan rancangan intruksional yang akan dipergunakan terus dipertimbangkan dan dievaluasi secara kontinu.
d. Pelaksanaan
Prototype yang lengkap bisa dipindahkan ke komputer (LAN) dengan menggunakan format misalnya format HTML. Uji terhadap prototype hendaknya terus menerus dilakukan. Dalam tahapan ini sering kali ditemukan berbagai hambatan, misalnya bagaimana menggunakan management course tool secara baik, apakah bahan ajarnya benar-benar memenuhi standar bahan ajar mandiri.
e. Evaluasi
Sebelum program dimulai, ada baiknya dicobakan dengan mengambil beberapa sampel orang yang dimintai tolong untuk ikut mengevaluasi. Proses dari kelima tahapan diatas diperlukan waktu yang relatif lama, karena prototype perlu dievaluasi secara terus menerus. Masukan dari orang lain atau dari siswa perlu diperhatikan secara serius. Proses dari tahapan satu sampai lima dapat dilakukan berulang kali, karena prosesnya terjadi terus-menerus.
Akhirnya harus pula diperhatikan masalah-masalah yang sering dihadapi sebagai berikut:
1). Masalah akses untuk bisa melaksanakan e-learning seperti ketersediaan jaringan internet, listrik, telepon, dan infrastruktur yang lain.
2). Masalah ketersediaan software (peranti lunak). Bagaimana mengusahakan peranti lunak yang tidak mahal.
3). Masalah dampaknya terhadap krikulum yang ada.
4). Masalah skill dan knowledge.
5). Attitude terhadap ICT.
Oleh karena itu, perlu diciptakan bagaimana semuanya attitude yang positif terhadap ICT, bagaimana semuanya bisa mengerti potensi ICT dan dampaknya de anak didik dan masyarakat.

SIMPULAN
E-learning merupakan aplikasi internet yang dapat menghubungkan antara pendidik dan peserta didik dalam sebuah ruang belajar online. E-learning tercipta untuk mengatasi keterbatasan antara pendidik dan peserta didik, terutama dalam hal waktu dan ruang. Dengan e-learning maka pendidik dan peserta didik tidak harus berada dalam satu dimensi ruang dan waktu. Proses pendidikan dapat berjalan kapan saja dengan mengabaikan kedua hal tersebut.
E-learning akan dimanfaatka atau tidak sangat tergantung bagaimana pengguna memandang atau menilai e-learning tersebut. Namun umumnya digunakannya teknologi tersebut tergatung dari:
1). Apakah teknologi itu memang sudah merupakan kebutuhan;
2). Apakah fasilitas pendukungnya sudah memadai;
3). Apakah didukung oleh dana yang memadai; dan
4). Apakah ada dukungan dari pembuat kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA


Hartanto, A.A dan Ono W. Purbo. 2002. Teknologi E-learning Berbasis PHP dan MySQL. Elex Media Komputindo: Jakarta.

Miarso, Yusuf Hadi. 2004. Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Kencana: Jakarta.

Prakoso, Kukuh Setyo. 2005. Membangun E-learning dengan Moodle. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Prawiradilaga, Dewi S dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Prenata Media: Jakarta..

Soekartawi. 1999. Rancangan Instructional. Rajawali Press: Jakarta.

Soekartawi. 2003. E-learning di Indonesia dan Prospeknya di Masa Mendatang. Makalah disampaikan pada seminar nasional di Universitas Petra, Surabaya, 3 Februari 2003.

Tam, M. Constructivism, Instructional Design, and Technology: Implication for Transforming Distance Learning. Educational Technology, Volume 3 Number 2. 2000.

Sunday, July 1, 2007

Seminar Nasional dengan Pembicara dari University of Massachuset

Ikutan seminar dengan pembicara dari University of Massachuset yuk...
10 Juli 2007 di Gedung Serba Guna FIP UNNES Semarang.
Tema : Ujian Nasional dan Masa Depan Pendidikan Indonesia.
Pembicara :
1. Craig Wells, PhD
2. Dr. Haryono, M.Psi
3. Drs. Fahrudin, M.Pd